Kisah ini merupakan flashback semasa bujang. Terus terang saja, aku
menikah di usia 30 tahun. Sewaktu awal dua puluhan rasanya tidak ada
cewek yang berhasil kupikat. Tapi sejak usia 25 tahun hingga menikah,
aku menyadari di dalam diriku tercipta suatu daya pikat alami. Tidak
perlu susah-susah cari jimat atau pelet, ada gadis yang secara
agresif mengejarku, ada pula yang pasang signal untuk kemudian
menyerahkan diri. Salah satunya adalah Lola, pramuniaga apotik di dekat
rumahku.
Sebenarnya ada lebih dari tiga apotik di sekitar rumahku. Apotik 'XX'
adalah yang tertua di sini. Selain harga obatnya murah, terus terang
yang bikin lengket adalah pramuniaga yang langsing, cantik
nan murah senyum, yang kemudian kuketahui bernama Lola.
Setelah berulang kali dilayani gadis kuning langsat dengan senyum
menggoda ini, aku memberanikan diri mengajaknya berkenalan ketika
apotiknya sedang sepi.
"Boleh kenalan? Namaku Bandi," ujarku sambil mengulurkan tangan.
"Saya Lola," jawabnya singkat sambil menyambut uluran tanganku dengan
tangannya yang berkulit halus nan lembut.
Matanya menatap tajam, penuh percaya diri mengiringi senyum manis yang
selalu terpancar diwajahnya.
Aku berusaha mengarahkan pandangan mataku untuk tetap mengarah ke
wajahnya. Padahal dorongan hati ini sebenarnya ingin melabuhkan
pandanganku ke bukit kembarnya yang kutaksir berukuran 36B. Apalagi dia
sedang memakai t-shirt ketat. Yahh, sekali-sekali tetap saja kucuri
pandang juga keindahan tubuh gadis yang kutaksir berumur dua puluhan
ini.
"Sudah berapa lama kerja di sini?" ujarku memperpanjang perbincangan.
"Mumpung cuma kami berdua di ruangan depan apotik ini," pikirku.
"Baru setahun."
"Dari daerah..?"
"Iya, kok tahu..?"
"Logatnya kan kelihatan dari Jawa." Lalu kusambung dengan cepat, "Aku
juga dari Jawa."
"Ah, nggak ada logat Jawanya.. Nggak percaya.."
"Kalo lagi ngumpul sama temen-temen dari Jawa, logatku keluar."
Lalu, untuk meyakinkan Lola, aku pun mengajaknya bicara
dengan bahasa dan logat Jawa. Dari obrolan singkat yang membuat kami
menjadi lebih akrab secepat kilat ini, kuketahui dia tinggal di lantai
dua dari ruko yang dijadikan apotik tersebut. Usianya ternyata baru
duapuluh satu.
Malam itu juga kutelpon dia setelah apotik itu tutup.
"Halo, apotik 'XX'..?"
"Ya betul.. tapi apotiknya sudah tutup Pak..," kudengar suara Lola di
ujung sana.
"Oh nggak apa-apa. Saya cuma mau bicara
sama Jeng Lola."
"Mmm.. dari siapa ya..?" terdengar nada keraguan.
"Wahh, baru juga kenalan kok udah lupa.." aku mencoba menggoda.
"Ohh, Mas Bandi. Ada apa Mas..? Kangen sama Lola..?" katanya menggoda
balik setelah berpikir sejenak menebak suaraku.
"Wah, berani juga ini cewek," pikirku.
"Iya nih.. abis di sini cuma berdua sama pembantu."
"Asyik dong..!"
"Wong pembantuku udah nenek-nenek.."
"Masa sih..? Boong nihh..!"
"Beneran.. Kapan-kapan main ke sini dong..! Biar tahu kalo pembantuku
memang udah STW."
Setelah ngobrol sana-sini, akhirnya perbincangan di telpon ini kami
tutup dengan janjian nonton di Studio 21 Sabtu malam.
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Keluar dari ruko tempat kerja
sekaligus kost ini, Lola dengan mesra menggamit lenganku menuju mobil
yang kuparkir di tepat depan apotik 'XX'. Tanganku yang direngkuh Lola
terasa menyentuh bagian tepi payudaranya yang menantang itu. Serr,
gairahku terpancing walau hanya sebentar saja sentuhan daging kenyal
yang menggoda itu kurasakan.
Di dalam bioskop, Lola lebih berani lagi. Ia menyandarkan kepalanya ke
lenganku. Tangannya pun segera diletakkan di atas selangkanganku, ketika
tanganku mulai mengelus dan meremas lengannya dengan lembut. Tidak lama
kemudian tangannya mengelus dan menggosok-gosok bagian luar celanaku.
Tentu saja tongkat di bawah celanaku segera mengeras.
"Hati-hati, nanti basah..," aku berbisik kepada Lola.
"Biarin," Lola berbisik menggoda sambil mencubit pahaku.
Ternyata Lola tidak bertindak lebih jauh. Ia hanya menikmati kerasnya
kelelakianku dari sebelah luar celanaku. Aku pun tidak berani berbuat
terlalu jauh, hanya meremas-remas lengannya, sambil sesekali mencium
pipi dan lehernya yang jenjang di tengah kegelapan bioskop. Beruntung
kami duduk di bagian paling belakang.
Pulang dari bioskop, pikiranku mulai kacau. Beragam khayalan muncul
menggoda. Apalagi Lola makin merapatkan badannya, seolah kami ini
pasangan yang sudah pacaran
lama saja.
"Mau langsung pulang atau putar-putar dulu..?"
"Mmm.. putar-putar juga boleh."
"Mau ke Ancol..?" aku coba memancing reaksinya.
"Ayo aja.."
Mobil pun mengarah ke Ancol. Langsung kuparkir ke tepi laut, seperti
mobil-mobil yang lainnya. Jantungku mulau berdegup kencang membayangkan
hal-hal yang akan terjadi kalau Lola tidak menampiknya.
Kami mendorong sandaran kursi kami ke belakang, sehingga lebih santai.
Aku mencoba mengambil inisiatif. Kudekatkan wajahku ke wajah Lola,
kuarahkan bibirku ke bibirnya yang merah merekah. Aku pun segera
mendaratkan bibirku, melumat bibirnya yang menggoda. Lola memejamkan
matanya, menikmati rangsangan dan gejolak birahi yang timbul saat bibir
kami saling melumat. Nafasnya terdengar mulai memburu.
Kuusapkan tanganku ke bra-nya sambil meremas lembut. Lola segera
membantuku dengan membuka bra-nya, sehingga tanganku bergerak bebas
merengkuh kedua bukit kembarnya yang menantang polos di balik blus tanpa
lengan yang sudah tersingkap. Kuusap-usap putingnya dengan telapak
tanganku. Sesekali aku memilinnya dengan telunjuk dan ibu jariku.
Selebihnya aku lebih banyak meremas lembut payudara yang selama ini
mengoda mataku saat main ke apotik tempatnya bekerja.
Tidak lama kemudian kuarahkan bibirku ke puting susunya yang sudah
mengeras.
"Ahh.. Emhh.." erangan Lola makin membangkitkan gairah dan semangatku.
Lola sangat menikmati setiap gejolak birahinya. Seperti inilah tipe
wanita kesukaanku. Tidak terlalu agresif dan cenderung menikmati
permainanku. Aku sangat menikmati ekspresi kenikmatan pasanganku. Aku
kurang menyukai cewek yang berlaku aktif saat bercinta.
"Emhh.. enak mass.. Teruss.. Teruss.. Ahh..!" desahnya lagi.
Sambil kembali mencium bibirnya, aku mulai mengarahkan tanganku ke
selangkangan Lola. Waktu CD-nya kusentuh, ternyata ia sudah basah.
Ciuman bibirnya menjadi lebih liar.
Tiba-tiba ia menarik bibirnya sambil berkata, "Mas Bandi, dilanjutkan di
rumah Mas Bandi yuk..! Lola udah nggak tahan nih..!"
"Di sini juga bisa kok," aku mencoba meyakinkan Lola.
"Nggak ah, malu. Ntar ada yang ngintip. Berabe kan."
"Katanya udah nggak tahan.., Mas juga udah nggak tahan nih..!"
"Jangan di sini Mas.., pokoknya lebih enak di rumah Mas Bandi deh.."
"Jangan kuatir, entar sepanjang jalan Lola usap-usap deh torpedonya."
Lola merajuk sambil mengusap lembut torpedoku yang sudah keras.
Torpedoku memang sudah tidak terhalang celana dan CD lagi. Retsluiting
sudah dibuka, CD sudah disingkapkan ke bawah buah pelir.
Terpaksa kuturuti permintaan Lola. Alhasil, sepanjang jalan aku menyetir
sambil menggeliat nikmat karena usapan-usapan lembut Lola di
bagian-bagian sensitif torpedoku.
Sampai di rumah, pembantuku ternyata sudah tidur. Kulihat jam tanganku
menunjukkan jam 1 pagi. Aku pun perlahan membuka pintu garasi,
memasukkan mobil, lalu membimbing Lola ke kamar tidur utama. Gejolak
birahi yang tertahan sepanjang perjalanan membuatku langsung merengkuh
tubuh semampai Lola, melumat bibirnya, sambil perlahan melepas
pakaiannya satu per-satu.
Dalam sekejap kami sudah telanjang dan berada di atas ranjang. Sekali
lagi aku menikmati tubuh menawan Lola, melumat puting susunya, sambil
mengusap-usap belantara dan gua yang sudah basah. Terdengar bunyi
berdecak ketika tanganku memainkan gua di selangkangannya sambil melumat
payudaranya yang sintal.
"Emhh.. enak Mass..! Teruss.. Teruss.. Ahh..!"
Ia betul-betul gadis yang menikmati setiap denyut kenikmatan birahinya.
Erangan dan ekspresi yang ditunjukkannya benar-benar nikmat didengar dan
dipandang.
Terasa penisku semakin mengeras. Kulihat Lola meregangkan kedua kakinya,
mengundang penisku untuk masuk.
"Ahh.. Emhh.." kembali Lola mengerang nikmat, "Masukkan Mas.., udah
nggak tahan nih..! Akkhh..!" bisiknya bercampur erangan nikmat.
Aku pun segera memasukkan penisku ke dalam gua yang sudah basah. Karena
sudah licin dengan cairan kenikmatan Lola, dengan mudah penisku yang
sebenarnya termasuk besar itu dapat masuk sampai ke bagian terdalam
vaginanya.
Terasa denyutan dinding vaginanya pada batang penisku. Ahh, nikmat
sekali. Aku mulai bergerak naik turun perlahan, sambil menikmati erangan
khas Lola. Gerakanku makin lama makin liar, seiring makin liarnya
erangan dan gerakan pinggul Lola.
"Ahh, aku udah mau keluar.." bisikku kepada Lola.
"Tahan dulu Mas.. sebentar lagi..!" rengek Lola.
Aku pun mengatur nafas sambil melepas erangan untuk menahan ejakulasi.
Aku menawarkan Lola untuk pindah ke posisi atas, supaya ia dapat
mengatur gerakan yang sesuai dengan ritme orgasmenya.
Kami pun berguling, penisku tetap berada di dalam vaginanya saat kami
berguling ganti posisi. Lola kini di sebelah atas. Ia bergerak naik
turun.. naik turun.. Lama-lama berubah berputar-putar dan sesekali naik
turun.. Erangan Lola berbaur dengan eranganku menahan ejakulasi.
"Ahh, enakk.. akk.. ku.. udah.. mmh.. mau keluar..!" Lola mengerang
nikmat.
Aku pun mulai bergerak mengatur ritme agar dapat ejakulasi bersamaan
klimaks yang dicapai Lola.
"Ahh, akk.. ku.. juga.. Mmmhh..!"
Terasa tubuh kami mengejang bersama-sama.
"Thanks.., Lola. Kamu luar biasa.." aku berbisik ke telinga Lola.
"Mas Bandi juga luar biasa.." bisik Lola.
Malam itu Lola menginap di rumahku. Kami tidur tanpa busana setelah
mandi bersama.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar